ZAMAN MESOLITHIKUM
1. HASIL KEBUDAYAAN
Setelah pleistocen berganti dengan holocen, kebudayaan palaeolithikum
tidak begitu saja lenyap melainkan mengalami perkembangan selanjutnya.Di Indonesia , kebudayaan palaeolithikum itu
mendapat pengaruh baru dengan mengalirnya arus kebudayaan baru dari daratan Asia ygna membawa coraknya sendiri. Kebudayaan baru yang
timbul itu dinamakanMesolithikum. Kebudayaan mesolithikum ini banyak
ditemukan bekas-bekasnya di Sumatra, Jawa , Kalimantan, Sulawesi
dan di Flores. Dari peninggalan-peninggalan tersebut dapat diketahui bahwa
jaman itu manusia masih hidup dari berburu dan menangkap ikan (Food-Gathering).
Akan tetapi sebagian sudah mempunyai tempat tinggal tetap, sehingga bisa
dimungkinkan sudah bercocok tanam walau masih sangat sederhana dan secara
kecil-kecilan. Bekas-bekas tempat tinggal mereka ditemukan di pinggir pantai
(Kjokkenmoddinger) dan di dalam gua-gua (abris sous roche). Disitulah pula
banyak didapatkan bekas-bekas kebudayaannya.
A.
HASIL KEBUDAYAAN MESOLITHIKUM
1.
Kebudayaan Pebble (Pebble Culture)
Ø Kjokkenmoddinger (Sampah Dapur)
Kjokkenmoddinger
adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur
dan modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah
dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit
kerang dan siput yang mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah membatu/menjadi
fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera yakni
antara Langsa dan Medan .
Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup
pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels
melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan
kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam
Palaeolithikum).
Ø Pebble (kapak genggam Sumatera = Sumateralith)
Tahun 1925,
Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan
hasilnya menemukan kapak genggam. Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit
kerang tersebut dinamakan dengan pebble/kapak genggam Sumatra (Sumatralith)
sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu dipulau Sumatra .
Bahan-bahan untuk membuat kapak tersebut berasal batu kali yang di pecah-pecah.
Ø Hachecourt (kapak pendek)
Selain pebble
yang yang diketemukan dalambukit kerang, juga ditemukan sejenis kapak tetapi
bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan hachecourt/kapak
pendek. Cara penggunaannya dengan menggenggam.
Ø Pipisan
Selain
kapak-kapak yang ditemukan dalambukit kerang, juga ditemukan pipisan
(batu-batupenggiling beserta landasannya. Batu pipisan selain dipergunakan
untuk menggiling makanan juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah. Bahan
cat merah berasal dari tanah merah. Cat merah diperkirakan digunakan untuk
keperluan religius dan untuk ilmu sihir.
2.
Kebudayaan Tulang dari Sampung (Sampung
Bone Culture)
Di antara
alat-alat kehidupan yang ditemukan di goa lawa di Sampung (daerah Ponorogo -
Madiun Jawa Timur) tahun 1928 - 1931, ditemukan alat-alat dari batu, seperti
ujung panah dan flakes, kapak yang sudah diasah, alat dari tulang dan tanduk
rusa, dan juga alat-alat dari perunggu dan besi. Oleh para arkeolog bagian
terbesar dari alat-alat yang ditemukan itu adalah tulang, sehingga disebut
sebagai Sampung Bone Culture.
3.
Kebudayaan Flakes (Flakes Culture)
Ø
Abris Sous Roche(Gua tempat
tinggal)
Abris Sous
Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal manusia purba padazaman
Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan binatang
buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan oleh Dr. Van Stein
Callenfels tahun 1928-1931 di goa Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur.
Alat-alat yang ditemukan pada goa tersebut antara lain alat-alat dari batu
seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah diasah yang berasal
dari zaman Mesolithikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa.Di antara
alat-alat kehidupan yang ditemukan ternyata yang paling banyak adalah alat dari
tulang sehingga oleh para arkeolog disebut sebagai Sampung Bone Culture /
kebudayaan tulang dari Sampung. Karena goa di Sampung tidak ditemukan Pebble
ataupun kapak pendek yang merupakan inti dari kebudayaan Mesolithikum.
Selain di Sampung, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro
Jawa Timur. Penelitian terhadap goa di Besuki dan Bojonegoro ini dilakukan oleh
Van Heekeren. Di Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris Sous Roche
terutama di daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang di dalamnya ditemukan
flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble. Di goa
tersebut didiami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh peneliti Fritz Sarasin
dan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang masih ada dianggap sebagai
keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman prasejarah. Untuk itu
kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan Toala. Kebudayaan
Toala tersebut merupakan kebudayaan Mesolithikum yang berlangsung sekitar tahun
3000 sampai 1000 SM. Selain di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, Abris Sous
Roche juga ditemukan di daerah Timor dan Rote. Penelitian terhadap goa tersebut
dilakukan oleh Alfred Buhler yang di dalamnya ditemukan flakes dan ujung mata
panah yang terbuat dari batu indah.
B.
KEBUDAYAAN BACSON-HOABINH
Kebudayaan ini ditemukan dalam gua-gua dan dalam bukit-bukit kerang di
Indo China , Siam , Malaka,
dan Sumatera Timur. Alat-alat kebudayaannya terbuat dari batu kali, seperti
bahewa batu giling. Pada kebudayaan ini perhatian terhadap orang meninggal
dikubur di gua dan juga di bukit-bukit kerang. Beberapa manyatnya diposisikan
dengan berjongkok dan diberi cat warna merah. Pemberian cat warna merah
bertujuan agar dapat mengembalikan hayat kepada mereka yang masih hidup. Di
Indonesia, kebudayaan ini ditemukan di bukit-bukit kerang. Hal seperti ini
banyak ditemukan dari Medan
sampai ke pedalaman Aceh. Bukit-bukit itu telah bergeser sejauh 5 km dari garis
pantai menunjukkan bahwa dulu pernah terjadi pengangkatan lapisan-lapisan bumi.
Alur masuknya kebudayaan ini sampai ke Sumatera melewati Malaka. Di Indonesia
ada dua kebudayaan Bacson-Hoabinh, yakni :
1.
Kebudayaan pebble dan alat-alat dari
tulang yng datang ke Indonesia
melalui jalur barat.
2.
Kebudayaan flakes yang datang ke Indonesia
melalui jalur timur.
Dengan adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia
sebagai pendukung kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog melakukan
penelitian terhadap penyebaran pebble dan kapak pendek sampai ke daerah teluk Tonkin daerah asal bangsa Papua Melanosoide. Dari hasil
penyelidikan tersebut, maka ditemukan pusat pebble dan kapak pendek berasal
dari pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh, di Asia Tenggara. Tetapi di daerah
tersebut tidak ditemukan flakes, sedangkan di dalam Abris Sous Roche banyak
ditemukan flakes bahkan di pulau Luzon
(Filipina) juga ditemukan flakes. Ada
kemungkinan kebudayaan flakes berasal dari daratan Asia, masuk ke Indonesia melalui Jepang , Formosa
dan Philipina.
C.
KEBUDAYAAN TOALA
Kebudayaan Toala dan yang serumpun dengan itu disebut juga kebudayaan
flake dan blade. Alat-alatnye terbuat dari batu-batu yang menyerupai batu api
dari eropa, seperti chalcedon ,
jaspis, obsidian dan kapur membantu. Perlakuan terhadap orang yang meninggal
dikuburkan didalam gua dan bila tulang belulangnya telah mongering akan
diberikan kepada keluarganya sebagai kenanga-kenangan. Biasanya kaum perempuan
akan menjadikan tulang belulang tersebut sebagai kalung. Selain itu, didalam
gua terdapat lukisan mengnai perburuan babi dan juga rentangan lima jari yang dilumuri
cat merah yang disebut dengan “silhoutte”. Arti warna merah tanda berkabung.
Kebudayaan ini ditemukan di Jawa (Bandung ,
Besuki, dan Tuban), Sumatera (danau Kerinci dan Jambi), Nusa Tenggara di pulau
Flores dan Timor .
2. MANUSIA PENDUKUNG
Manusia pendukung peradaban ini juga menggunakan flake dan microlith
atau batu-batu pipih, segitiga dan trapesium yang ukurannya kecil. Batu-batu
itu diperkirakan berfungsi sebagai alat pemotong benda-benda yang lunak,
seperti daging buruan atau ubi-ubian. Benda-benda tersebut banyak ditemukan
didataran tinggi Bandung .
Para ahli arkeologi dan geologi berpendapat bahwa pada zaman mesolitikum ini, Bandung yang dikenal
sekarang merupakan sebuah danau besar yang dikelilingi oleh gunung-gunung.
Tepian danau tersebut merupakan tempat tinggal manusia pendukung peradaban zaman
batu tengah (mesolitikum) dan menggunakan alat flake dan microlith.
3. CARA HIDUP MANUSIA DI ZAMAN MESOLITHIKUM
Zaman mesolitikum disebut juga zaman batu madya /
tengah.Zaman ini disebut pula zaman mengumpulkan makanan ( food gathering )
tingkat lanjut,Yang dimulai pada akhir zaman es,sekitar 10.000 tahun yang
lalu.Para ahli memperkirakan manusia yang hidup pada zaman ini adalah bangsa
melanesoid yang menyerupai nenek moyang orang Papua,Sakai,Aeta,dan
Aborigin.Seperti halnya zaman palaeolitikum,zaman mesolitikum mendapat makanan
dengan cara berburu dan menangkap ikan.Mereka tinggal di gua – gua di bawah
bukit karang ( abris soucheroche ) ,tepi pantai dan ceruk pegungungan.Gua abris
souche roche menyerupai ceruk untuk dapat melindungi diri dari panas dan hujan.Hasil
peninggalan manusia pada masa itu adalah menyerupai alat – alat kesenian yang
ditemukan di gua – gua dan coretan pada dinding gua seperti di gua leang –
leang,sulawesi selatan,yang ditemukan oleh Ny.Heeren Palm pada 1950.Van Stein
Callenfels menemukan alat 0 alat tajam berupa mata panah,flakes,serta batu
penggiling di Gua Lawa dekat Sampung Ponorogo dan Madiun.Pada masa ini
ditemukan juga kjokken moddinger yaitu dapur kulit kerang dan siput setinggi 7
meter di sepanjang pantai timur Sumatra.Peralatan yang ditemukan di
tempat itu adalah kapak genggam Sumatra,Pabble culture dan alat berburu dari
tulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar